It’s About (Part 3 of 3)

It's About

Author: Tamara Kim

Cast: Bang Minah, Lee Hongbin, Kim Jong In, Bang Young Guk

Catagories: Girl’s Day, VIXX, EXO, EXO-K, B.A.P, Fanfiction, Continue, NC, Romance

Tags: Bang Minah, Girl’s Day, Lee Hongbin, VIXX, Kim Jong In, Kai, EXO, Bang Young Guk, B.A.P

Note: Manusia tak ada yang sempurna. Kesalahanku, mohon dimaafkan. Terima kasih. (17+, kebijakan pembaca disarankan)

———————————————————————————————

Jongin menceritakan semuanya. Bagaimana ia terlepas dari belenggu kemiskinan dikala itu. Menjadi gelandangan di pinggiran kota, memakan nasi basi setiap harinya. Hingga ia tanpa sengaja melewati toko mesin tik. Jari-jarinya bekerja cepat bukan main. Entah mengetik suatu berita, ulasan hidup, bahkan angka-angka yang tak dimengerti sang pemiliki toko. Mungkin kemujuran itu datang tatkala sang pemilik toko akan memarahinya, seorang lelaki berpawakan tinggi berjas yang bukan dengan harga murah itu mendekatinya. Membawanya ke Seoul dan diberi fasilitas lengkap. Ia di sekolahkan di ilmu manajemen, dan kini Jongin menjadi seorang pria pemilik beberapa perusahaan dan Health Cooporation sebuah kerja sama dalam bidang medis yang akhir-akhir sangat menguntungkan. Tajir. Mungkin itu yang dirasakan oleh Jongin saat ini. Tampat, berkelas, dan berpendidikan. Dan tentunya, hanya orang-orang berkelas saja yang dapat datang ke Singapura untuk melakukan 3 hari party.

Minah menatap Jongin dalam pelukannya. Ia sangat canggung dan bingung akan perasaaan Jongin. Di sisi lain ia sangat mencintai Hongbin tapi di sisi seperti ini, ia merasa sangat nyaman dan aman dalam dekapan Jongin. Saat hembusan nafas Jongin menerpa, bibirnya yang menjelajahi tubuhnya dan jangan lupa akan kegagahan Jongin dalam bercinta. Memabukkan.

Tangan Jongin mengelus punggung telanjang Minah. Mengusap surainya pelan, memandang tubuh molek yang masih sama seperti gadis dulu. Sangat berisi di tempat yang tepat. “Kau Minah, bagaimana perjalananmu?”

Minah hanya menghembuskan nafasnya dan mulai bercerita. Tak luput juga di beberapa kesempataan saat ia bercerita ia sedikit menitikkan air mata.

“Aku memiliki anak saat ini, Lauren.” Tutur Minah pelan, tanpa memandang Jongin. Takut akan Jongin menjadi kaku seakan menahan amarah disekujur tubuhnya lagi.

“Benarkah? Apakah ia cantik sepertimu?” Jongin bertanya dengan mengaitkan jemarinya dengan jemari Minah. Ia tidak marah, bahkan dari nadanya ia sangat tertarik akan Laurennya.

Minah menggangguk. “Cantik sekali. Bahkan daripada diriku.” Jawab Minah yang disusul dengan tawa kecil Jongin.

Mata tajam itu memandang Minah dalam. Menyampaikan cintanya yang kelam dan terkubur selama perjalanannya menuju kemari dan bertemu Minah.

“Menikahlah denganku..”

-o-

Sejak kejadian itu tiba-tiba Minah kembali ke Jepang tanpa ada satu orangpun yang mengetahuinya. Ia kembali ke Lauren dan Hyuk yang sedang menunggunya di Flat. Pertanyaan Jongin saat itu membuat pikirannya meledak. Apakah pantas dirinya dengan Jongin? Bisa saja Jongin begitu lembut ketika awal pertemuan seperti kemarin dan akan menjadi beringas kembali seperti awal saat ia bertemu pertama kali. Ternyata trauma tentang hal pertama kalinya itu masih menghantuinya tapi anehnya saat Minah bersama Jongin, trauma itu seakan menguap.

Seiring berjalannya waktu. Lauren menjadi besar, ia mulai masuk ke taman kanak-kanak. Bahkan ia lebih dari anak-anak lainnya. Lauren mengikuti banyak program belajar di luar sekolah, seperti private bahasa Mandarin, latihan balet, bahkan bisa dibilang IQ Lauren di atas anak-anak lainnya.

Minah masih menggeluti pekerjaan lamanya walau hanya sering sekitar Jepang, China, maupun Korea. Selebihnya ia akan tolak. Takut akan bertemu Jongin kembali. Bahkan batang hidung Jonginpun tak terlihat sedikitpun. Apabila ia serius saat itu pasti saat ini ia sedang bingung mencarinya.

Gunjungan orang tua murid tiba-tiba menusuk dirinya. Bagaimana bisa orang tua yang bekerja sebagai akuntan di suatu perusahaan bisa menyewa flat dengan harga ¥15.300.000/bulan? Itu seperti gaji seorang direktur. Yah, sebuah bualan yang dibuat oleh Minah atas pekerjaannya. Bahkan yang lebih menakutkan lagi Lauren yang pintar sudah bisa mencari kehidupan ibunya seperti apa dari situs internet. Minah yang mengetahuinya segera menjelaskan pada Lauren akan hal itu. Pekerjaan adalah hal yang sangat susah di era yang modern seperti saat ini. Lauren mengerti dan mulai membela sang ibu di hadapan teman-temannya. Merasa ini mulai menakutkan, Minah mulai menutup semua tentang dirinya di jejaring online dan mulai memutuskan untuk kuliah di jurusan Bahasa Inggris. Hanya itu kemampuannya selain sains yang baginya masih belum terlalu menguasai.

Adiknya Hyuk, masih dibiarkan untuk tinggal di flatnya hingga menemukan pekerjaan tetap. Walau sudah berhenti dengan perkejaanya, Minah merasa ada hal aneh dalam dirinya. Sepertinya ia sangat bergantung dengan pekerjaan lamanya. Berbalut busana branded dan aksesoris mahal menggantung di tubuhnya kini tak ada lagi. Ia tak memiliki pemasukan lagi. Terkadang Minah sesekali melayani panggilan teman sekampusnya untuk memberikan tubuhnya semalam atau hanya date sesekali dan uangnya untuk menghidupinya sudah lebih dari cukup.

Kini Minah sudah mencapai gelar master dalam bidangnya. Tapi kendala yang ia rasakan adalah .. ia tak tahu harus bekerja menjadi apa. Hingga suatu surat pemintaan pekerjaan jatuh di lantai depan rumahnya.

“Shiren Cooporation?” gumam Minah yang memungut surat di depan rumahnya. Hebat, bahkan kini ia diminta kerja disebuah perusahaan terkenal seperti Shiren. Sepertinya gaji disana cukup memuaskan, ia diminta menjadi seorang sekretaris direktur di perusahaan itu Wow sekali! Minah tak pernah sekalipun mengirimkan surat lamaran pekerjaan di sana, dan kini ia diminta untuk bekerja di Shiren, terima kasih Tuhan.

-o-

“Di sini meja anda. Karena ini adalah hari pertama anda kerja, beberapa berkas sudah saya kerjaan sisanya mungkin anda bisa memulainya dari sekarang. Oh ya! Telepon hitam itu sudah di setting untuk panggilan 1 kau akan langsung menuju ke direktur, 2 untuk Front Office dan 3 untuk ke kantorku.” Jelas Suho yang menjadi tangan kanan dari sang direktur. Minah mengangguk paham dengan apa yang dijelaskan oleh Suho. Minah mengucapkan terima kasih pada Suho dan mulai membungkuk hormat.

“Ah satu lagi. Kau sangat beruntung diterima di sini. Tapi jangan sombong terlebih dahulu, Tuan Direktur dikenal sangat kejam dan disiplin di sini. Salah sedikit mungkin kau langsung di pecat Nona.” Canda Suho sebelum berbalik kembali.

“Ah, direktur akan datang besok. Semoga kau sukses di depan Tuan Direktur besok.” Teriak Suho dari ujung lorong. Minah menghebuskan nafasnya. Walau ini adalah hari pertamanya kerja, ia belum bertemu kepada sang direktur yang mempekerjakannya. Direktur Shiren tersebut sedang ke Korea untuk rapat saham.

Minah terduduk di meja coklat bernuansa kayu yang berhadapan langsung dengan pintu besar silver dengan kenop pintu seperti samurai ruangan di sini masih mengangkat budaya Jepang yang kental. Cukup untuk ketertarikannya, Minah segera memulai dengan berkas-berkas yang masih menumpuk manis di depannya. Selamat mengerjakan, Minah. Gumamnya dalam hati.

Pekerjaannya hari tidak begitu mulus. Masih banyak yang tak ia pahami, dengan begitu ia segera membawa pulang berkas-berkasnya dan menemui Hyuk, setidaknya adik kecilnya itu paham akan hal ini. Ditemani suara teriakan riang Lauren yang sedang menonton acara cartoon kesukaannya, secangkir teh, dan Hyuk di sebelahnya membuat pekerjaannya lebih mudah dan santai. Hyuk mengajarinya bagaimana surat yang harus ditangani atau tidak. Mana yang bersifat menguntungkan dan akan menaikkan saham perusahaan. Minah cepat menangkap hal tersebut dan mulai mengerjakannya kembali. Hyuk mulai ikut menonton bersama Lauren di ruang tengah.

Sejak ia berhenti dari rumah bordil itu, mereka pindah ke flat kecil di pinggir kota. Cukup murah dengan menaiki bus untuk mencapai ke kota dan menuju kantor maupun tempat sekolah Lauren. Lauren tidak berhenti untuk private mandarin dan baletnya. Entah kenapa tentor yang mengajarinya dengan sukarela mengajari Lauren. Sepertinya itu menguntungkan.

Jantung Minah berdegup kencang tatkala jam sudah menunjukkan pukul 10.00 jam-jam seperti ini adalah hal yang paling di hormati karena sang direktur akan datang, mereka harus berdiri dan menunduk memberi salam kepada direktur. Minah takut akan melakukan kesalahan dan malah membuat petaka dihari keduanya bekerja.

“Jangan takut Nona, aku ada di sini juga.” Suho tiba-tiba sudah berdiri di dekat meja Minah. Sepertinya sudah terlihat sangat jelas ketegangan Minah akan hal yang akan dilaluinya sekali tapi akan menentukan masa ke depannya.

“Kau cukup membungkuk hormat itu saja..” lanjut lelaki putih itu. Logat kedaerahannya sangat kental. Minah tak dapat menebak daerah Jepang bagian mana ia berasal.

Telinga Minah cukup peka untuk mendengar kegaduhan di ujung lorong sana. Sepertinya sang direktur sudah hampir menuju kemari. Dengan sigap Minah berdiri di samping Suho menatap lurus kedapan gugup. “Jangan sampai kau menatap wajahnya saat akan membungkuk..” bisik Suho pelan. Belum sempat ia mencerna kalimat Suho sang direktur muncul dari ujung lorong yang berjarak 5 meter dari tempatnya berasal, dengan segera Minah dan Suho membungkuk bersamaan. Terlihat sepatu seorang laki-laki berdiri di hadapannya yang tengah membungkuk. Tubuh Minah menjadi kaku dan juga dilanda penasaran. Seperti apa wajah sang direktur tersebut. Tak lama sang direktur melanjutkan jalannya kembali menuju ruangannya. Minah hanya menangkap siluet anak buah dibelakangnya yang sedang menutup pintu ruang kerjanya. Mendebarkan sekali detik-detik tadi.

“Sepertinya sudah saatnya kau memperkenalkan diri sebagai sekretaris baru ke Tuan Direktur.” Tutur Suho yang memandang arah pintu tertutup dengan dua pengawal di luar pintu.

Minah melebarkan matanya sempurna, “A-aku? Sekarang?” tanyanya tak percaya. Jantungnya belum berhenti saat seperti tadi dan kini ia harus bertemu sang direktur face to face di ruangan kerjanya. Bahkan saat ia melayani pelanggan di rumah bordil ia tak segugup ini. Pikiran Minah menjadi negatif, bagaimana jika sang direktur tak cocok dengannya dan menjadi kejam seperti yang pegawai lain bilang. Membentak, melempar, bahkan menyuruh hal-hal yang aneh dan konyol. Bagai lucifer haus api neraka.

Suho mendorong tubuh Minah pelan dengan disusul tatapan ‘minta tolong’ dari Minah. Suho menghiraukannya dan kembali mendorong tubuh Minah.

-o-

Setelah memperkenalkan diri dan latar belakang pendidikannya Minah terdiam memandang kursi kantor yang berbalik membelakanginya. Setidaknya saat seperti ini ia tidak terlalu canggung, ia tak dilihat oleh sang direktur yang sedang menatap keluar jendela dari awal saat Minah masuk.

“Jessica..”

Minah menegang. Suara itu, suara berat yang ia sangat mengenal saat ia di Singapura. Dan tepat saat ini kalut dalam ketegangannya, kursi itu berputar dan menampilkan sosok Jongin yang berbalut jas hitam. Rambut hitam legam yang ditata kebalakang. Luar biasa seksi!

“Jongin..” gumam Minah pelan, sedikit ia memundurkan langkahnya.

Ia kembali flashback saat di Singapura kemarin. Saat Jongin mengatakan kata-kata cinta, kekagumanya pada Minah, dan bahkan memintanya untuk menikah dengan Jongin. Pembual! Sepertinya memang benar dengan praduga Minah dari awal. Jongin mengingikan tubuhnya hanya untuk merasakan kenikmatan bercinta.

“Mengapa kau hilang saat di Singapura?” tanya Jongin dengan gaya khasnya saat terduduk. Dengan menyender ke kursi sambil menyatukan jemarinya, seperti menginstrupsi tapi seksi di sudut pandang lain.

Minah terasa sesak untuk menjawab. Ia bahkan masih merasakan nyaman walau dalam keadaan seperti di interogasi seperti ini, rasa trauma itu menghilang. Jongin berdiri menghampiri Minah dan disusul langkah Minah mulai melangkah mundur.

“Aku serius akan membawa kesucianmu kembali Minah! Membawamu dalam kehidupan dunia sebenarnya, berpasangan, merasakan cinta! Aku ingin mencintaimu segenap diriku!” nada Jongin mulai meninggi di hadapan Minah. Wanita di hadapannya hanya bisa menahan gugup tak beraturan, bahkan lututnya mulai gemetar.

“Kau bohong Jongin..” bibir Minah terasa kaku mengatakan hal itu. Ditatapnya Jongin tajam. “Kau pembohong Jongin! Kau pembual!” teriak Minah, cairan bening matanya sudah mulai menetes. Jongin merasa kaku memandang Minah yang sekali lagi menangis.

Pembohong? Apa maksudnya?

Jongin segera memeluk tubuh kecil tapi berisi milik Minah. Mendekapnya dalam kearah dadanya. Mencoba menenangkan tubuh ringkih yang kini sedang menangis akan dirinya. Apa ia melakukan kesalahan?

Didorongnya tubuh Jongin menjauh. “Aku membencimu Jongin! Sangat membencimu!” teriak Minah dan segera meninggalkan Jongin keluar dari ruangannya.

-o-

Setelah kejadian kemarin, Minah sedikit canggung untuk bekerja hari ini. Sudah pukul 09.00 pegawai lain sudah mulai bekerja kembali ke mejanya. Ada yang masih mengantuk bahkan ada yang sesekali bersiul riang. Tidak dengan Minah yang masih canggung duduk di mejanya menatap pintu besar itu. Belum ada pengawal di depan pintu Jongin yang berarti ia belum datang. Minah menggelengkan kepalanya seolah cara itu akan melupakan hari kemarin hingga kini Minah larut dalam pekerjaan berkas-berkasnnya.

Jam menunjukkan pukul 12.00 bahkan suara gaduh para pegawai akan memberi hormatpun belum terdengar. Beberapa berkas penting yang diminta staf lain sudah selesai semua. Segera Minah meninggalkan meja kerjanya dan menuju bilik-bilik pada staf di Health Coorporation terbesar seAsia itu. Shiren Coorporation.

Minah kembali dari kamar mandi yang mendapati dua pengawal sudah berdiri tegak di depan pintu besar ruang kerja Jongin. Rasa canggung itu kembali menyeruak. Ia harus bersikap profesional atau ia akan di depak dan luntang-luntung mecari pekerjaan lain.

Telepon hitam itu berbunyi mengagetkan Minah yang sedang dalam fantasinya.

“Kemari kau, aku membutuhkanmu..” jelas sekali itu adalah suara Jongin. Nyali Minah langsung ciut untuk menjadi pegawai profesional. Sebentar, bukankah ia membeci Jongin. Mengapa ia harus merasa takut seperti kucing?

“Baik..” jawab Minah dengan menutup sambungan teleponnya. Ia berkaca memperbaiki hairdonya, dan mulai berjalan kearah pintu besar itu.

Jongin sudah menunggunya berdiri memunggunginya menghadap jencala besar menampilkan hiruk pikuk kota dari lantai teratas gedung ini. Minah berdiri canggung memandang Jongin. Lagi-lagi kemeja hitam. Entah dari sudut pandang mata Minah atau hanya dirtymindnya saja setiap ia melihat pria dengan balutan kemeja hitam. Pria tersebut menjadi lebih seksi dan seakan ada magnet tersendiri bagi Minah untuk menyentuhnya.

“Jam berapa sekarang?” suara berat Jongin memecahkan fantasi erotisnya barusan. Dengan cepat Minah mengecek jam tangan kecilnya.

“Pukul 13.00. kau menyuruhku kesini hanya untuk menanyakan jam? Sudah ada jam bertengger di tanganmu Jongin-ah.” Jawab Minah jengkel. Jongin melepaskan pandangannya dari jendela itu ke arah Minah. Kini Minah bungkam melihat mata coklat Jongin seakan menusuk dirinya. Aneh.

Jongin berjalan pelan ke arah Minah, “Sudah waktunya menjemput si kecil..” bisik Jongin tepat di telinga Minah. Dan dengan lembut Jongin menarik lengan Minah yang masih belum mencerna baik-baik perkataan Jongin barusan dan meninggalkan ruang kerja besar itu.

Minah makin takjub terhadap Lauren yang berlari keluar gerbang sekolahnya langsung kearah Jongin. Memeluk kaki jenjang Jongin dengan riang seakan sudah lama dan sangat ia dambakan bahwa Jongin akan menjemputnya. Darimana Lauren mengenal Jongin, dan yang lebih fantastik adalah saat Lauren berlari ke arah Jongin tadi ia berteriak ‘Appa’ … huh?

Kini berakhirlah mereka di kedai eskrim depan sekolah Lauren. Minah tak menyentuh sama sekali es krim coklatnya, ia sibuk terperangah memandang Lauren dan Jongin bagai ayah dengan anak yang sedang bercanda. Lauren yang menyuapi Jongin dengan tangan kecilnya hingga terkadang es krim itu meleset ke pipi Jongin. Pemandangan ini, bagai mimpi bagi Minah. Tangan putih Minah menepuk pipinya sendiri, seakan dengan cara seperti ini ia akan terbangun dengan mudahnya.

Jongin yang menangkap moment itu hanya terkekeh kecil yang sesekali menerima suapan dari Lauren.

“Astaga.. Hyung!”  mereka bertiga langsung menghadap ke arah suara yang sangat mereka kenal. Hyuk. Sedang apa di sini? Ah iya, ini sudah menjadi tugasnya untuk menjemput Lauren setelah ia pekerja.

“Ya, Hyuk.. kau seharusnya lebih cepat menjemput Lauren. Ia akan kelaparan nanti.” Omel Jongin yang disusul dengan ringisan wajah tak bersalah Hyuk. Lauren yang melihat Hyuk langsung melonjak kegirangan dengan menyebut nama Hyuk keras, melebarkan tangannya seakan meminta kemari untuk disuapkannya es krim yang hampir meleleh itu.

Tunggu.. pikiran Minah semakin dibuat pusing saat ini. Adiknya, Laurennya, kini sedang asik bercanda dengan Jongin. Tanpa sadar tangan Minha memukul keras meja hingga mereka yang sedang asik bercanda satu sama lain kini menatap Minah kaku, begitu pula Lauren.

“Lauren, kemari nak..” ujar Minah dengan posisi akan menggendongnya. Dengan patuh Lauren menerima tangan ibunya dan segera terduduk di pangkuan sang ibu.

“Bagaimana kalian bisa… satu sama lain.. Jongin.. dan kau Hyuk..?” pertanyaan Minah tak begitu jelas tetapi sangan jelas bagi Jongin.

“Aku akan menjelaskannya di kantor nanti. Bagaimana jika aku mengantarkan kalian pulang?” tanya Jongin menatap Hyuk dan Lauren bergantian dan disusul anggukan setuju menjawabnya. Di posisi seperti ini Minah seperti orang bodoh di dunia.

Minah terduduk tepat di depan Jongin dengan meja sebagai penjarak bagi mereka. Meja kerja Jongin dengan nama Jongin yang jelas terbuat dari kaca. Kali ini Minah meminta penjelasan dari Jongin dengan hari ini yang begitu membuatnya pusing.

“Lalu.. darimana kau ingin mendengarnya, Minah?” tanya Jongin dengan gaya menyendernya ke kursi. Tampan. Pikirannya kali ini tengah memuju ketampanan Jongin. Dengan cepat Minah menggeleng membuyarkan fantasinya. Jongin yang melihat gerakan Minah sedikit terkikik geli, rupanya Minah juga sudah jatuh dalam pesonan ketampanan Jongin.

“Kau! Kenapa kau bisa … Lauren dan ‘Appa’ … hingga Hyuk  …?” Minah menggantungkan kalimat terakhirnya. Bibirnya kelu merangkai kalimat hanya untuk pertanyaan simple. Jongin mengeluarkan senyum kecilnya memandang Minah dalam.

“Sejak kau pergi dari Singapura, aku selalu memantaumu dari jauh. Seluruh kehidupanmu aku mengetahuinya, sayang..”

Mendengar kata terakhir dari bibir Jongin, Minah hanya memandang Jongin kosong. Pikirannya akan Jongin yang pasti bercanda akan tentang memintanya untuk menikah, bertanggung jawab akan tindakannya dulu, dan akan membahagiakan Minah itu salah. Ia memperhatikannya dalam diam sosok Jongin.

“Hingga gunjingan orang tua muridpun aku mengertahuinya.” Lanjut Jongin kembali.

Minah yang sempat tertunduk langsung memandang Jongin lekat. Cantik, beberapa untaian hairdonya tersampir di dekat mata Minah. “Kau..” gumam Minah pelan.

“Yah, aku mengetahuinya. Hingga kau pindah flat yang lebih sederhana. Ketahuilah saja Minah..” Jongin membenarkan letak duduknya, menumpukan sikunya ke meja di hadapan mereka. “Flat yang kau tempati saat ini adalah salah satu property milikku. Mana ada di Jepang flat semurah itu.”

Pikiran Minah kembali saat ia mencari flat termurah yang ia dapat. Sangat gampang dan harganya diluar dugaan Minah sendiri.

“Lauren? Kau kira ada tentor yang akan mengajar tanpa digaji? Ayolah, semua orang bekerja untuk mencari uang. Termasuk dirimu.” Bibir Minah terbuka seakan mengatakan sesuatu.

“Aku yang membayar mereka.” sahut Jongin cepat sebelum Minah sempat berkata. “Sudah kukatakan, aku ingin membesarkan Lauren dengan apa yang kumiliki. Hyuk, ia kini sudah bekerja di perusahaan cabangku. Aku mengenal mereka Minah, aku ingin menghidupi semuanya dengan seluruh kehidupanku. Aku ingin mencintaimu segenap diriku.”

Tangan besar Jongin meraih tangan dingin Minah. Ia sama sekali tak menyangka akan keseriusannya untuk memberikan kesucian yang sempat ia rebut dulu. Satu titik air mata itu mengalir di pelupuk matanya. Tersentuh bukan? Tapi hatinya bingung, apa ia akan menjadi bahagia kelak nanti? Apa ia akan dicampakkan kembali seperti sebelumnya? Sama seperti prinsip pria di luar sana. Ketika apa yang sudah ia dapat. Ia akan meninggalkannya begitu saja. Tubuhnya menerima akan Jongin di sisinya tetapi otaknya seakan mengontrol hati Minah untuk tidak percaya secepat apapun terhadap pria yang telah merusak hidupnya dulu.

Jongin menarik tubuh Minah mendekat, menghimpit meja itu dan menyatukan bibir mereka. Menyesap bibir tipis Minah dengan dalam. Menyalurkan apa yang dikatakannya barusan dapat dipegang untuk seorang Minah. Bibir penuh Jongin melumat sedikit kasar untuk membuka akses mulut Minah dan dengan senang hati tubuh Minah menerimanya, membuka akses bibirnya untuk semakin dalam untuk dijelajah oleh Jongin. Lenguhan tertahan oleh Minah keluar begitu saja dan tentu saja membuat Jongin makin turn on. Diangkatnya tubuh Minah hingga terduduk di meja Jongin, menyingkirkan semua benda di sekitarnya tanpa harus melepas pangutan bibir mereka yang makin dalam. Minah melakukannya dengan sangat ahli dalam hal seperti ini. Mungkin pekerjaannya yang dulu membuat makin profesional dalam hal bercinta.

Sekali gerak kini Minah memeluk leher Jongin untuk memperdalam ciuman mereka, melingkarkan kakinya di pinggang Jongin dan mulai menarik rambut Jongin. Menggairahkan. Jongin yang semakin diundang untuk terus melangkah maju langsung saja mengeluarkan keahliannya dalam bercinta. Begitu lama dan dalam. Mungkin untuk malam ini harus menambah makan ekstra setelah bercinta dengan Minah yang menghabiskan beberapa putaran. Tak hanya di meja, bahkan sofa abu-abu elegan juga menjadi saksi bisu kegagahan Jongin terhadapan tubuh Minah. Jendela besar yang menampakkan langit sudah mulai senja menjadi tumpuan Jongin untuk bercinta, semoga saja tidak ada yang akan melihat dari gedung sebelah tempat Jongin dan Minah bercinta.

Hingga kini mereka di sofa abu-abu itu, saling memeluk posesif satu sama lain dibawah balutan selimut yang Jongin keluarkan dari lemari besi di ujung ruangan besar ini. Menyelimuti tubuh polos mereka berdua. Saling mendengar deru nafas masing masing dan degup jantung yang tetap saja saling berpacu walau rasa lelah setelah bercinta tadi mulai menghilang.

Aneh. Minah merasa terlindungi. Namun apakah ini dinamakan cinta ketika seorang merasa nyaman di sekitar orang tersebut tapi hatinya merasa tidak yakin akan cinta.

Jongin membenarkan posisinya dan memandang Minah dalam. Mengusap pipi yang kini sedikit berisi. Minah memandang Jongin dengan pandangan bertanya. Sempurna, batin Jongin.

“So, will you marry me?” Jongin berbisik di telinga Minah, sedikit dengan tiupan kecil hingga bulu kuduk Minah meremang. Mengerdikkan bahunya geli sambil menahan malu. Mungkin ini adalah proposal yang ia tak pernah ketahui. Dilamar setelah bercinta?

Jongin menggumam menunggu jawaban dari Minah yang kini makin melesakkan wajahnya dalam dada bidang telanjang Jongin. Menghirup feromon yang menguak dari tubuh Jongin, ia sedang meyakinkan dirinya sendiri tentang pernikahan itu. Hingga akhirnya Minah menjawab …

“Ya, aku bersedia.”

-The End-

Leave a comment